Matahari mulai melukiskan semburat keemasannya di ambang cakrawala, membuat langit bagaikan lukisan abstrak tak bermakna. Anakan angin juga mulai berkeliaran, menggoyang-goyangkan dedaunan dari ujung-ujung ranting yang mulai bergemerisik tak tenang. Dari bawah sebuah pohon, seorang gadis yang baru saja menginjak umur tujuh belas tahun terduduk. Sepasang mata jelaganya berbinar senang, menatap kumpulan awan sirus yang berenang – renang lembut.
Enjel, nama gadis itu. Nama indah pemberian ibunya. Ibunya yang kini entah berada dimana. Ia belum pernah sekalipun melihat bagaimana wajah ibunya. Tapi, sepertinya beliau cantik, sama seperti dirinya. Itu yang pernah ia dengar dari ibu asuh yang mengasuhnya di panti ini sejak kecil. Sejak ia di letakkan tepat di depan pintu gerbang panti ini. Panti bergedung khas daerah Jawa Tengah yang terbuat dari kayu jati.
Enjel, tidak ada yang istimewa dari dirinya. Seorang gadis yang dilahirkan melalu rahim seorang wanita, hidup layaknya manusia pada umumnya. Hanya saja, tidak semua orang tua menginginkan anak gadis seperti dirinya, terlahir normal namun mengidap penyakit mental yang biasa orang sebut dengan autis. Tidak, dirinya tidak pernah menginginkan terlahir seperti sekarang. Terlahir dengan mental yang kurang, yang terkadang membuat orang jijik melihatnya. Apa? Apa dosaku? Ingin dirinya melontarkan pertanyaan seperti itu, namun selalu tertahan di ujung bibirnya, tertahan dengan tatapan jijik dan ungkapan senonoh dari setiap orang yang ia temui. Dari setiap anak seumurannya yang melihatnya—yang terlahir dengan fisik dan mental yang sempurna, menurutnya.
Ia selalu terkamuflase oleh pepohonan-pepohonan rindang yang dengan kokohnya berdiri anggun di setiap sisi taman panti ini. Bersembunyi dari teman-teman yang keadaannya tidak jauh berbeda dari dirinya. Bersembunyi dengan sebuah buku mungil dan pensil yang ujungnya tumpul, yang diberikan ibu asuhnya di panti ini setengah tahun yang lalu.
Setahun sebelum ibu asuhnya memberikan buku mungil dan pensil yang ujungnya tumpul itu kepadanya, ibu asuh yang begitu ia sayangi itu menemukan kumpulan kertas di kamar gadis yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya itu. Kumpulan kertas yang berisi tulisan-tulisan tangan yang kurang jelas, namun beliau tahu apa yang menjadi titik utama dalam tulisan tersebut; puisi. Dan semenjak saat pula beliau juga tahu, siapa yang menjadi objek bagi gadis yang senang sekali menikmati siraman angin di sore hari itu.
Kepada: Dia, yang aku temui sore ini.
Kira-kira, seperti itu kalimat yang ia tulis pada awal baris puisinya sore ini. Awal baris yang ia siapkan untuk dia, seorang lelaki hitam manis yang ia kenal dua setengah tahun yang lalu. Yang ia temui saat ia sedang menulis di balik pohon ini. Yang ia ketahui sebagai seorang yang ingin menjadi temannya, tanpa rasa jijik maupun iba. Yang ia lihat begitu senang berada di sampingnya, meski seringkali dirinya membuat susah.
Angin senja berhembus perlahan, membawa rambutnya yang terurai terhembus tak teratur, mengikuti alurnya. Secara tidak langsung, hembusan angin tadi membuat dirinya mengingat kembali kejadian sore tadi, dimana hal yang membuat jantungnya secara tidak sengaja bergetar lebih dari yang biasa ia rasakan. Membuatnya seakan menjadi ringan, seringan kertas-kertas pada buku mungil yang kini mulai berdesir satu sama lain akibat helaan angin.
Sore tadi, masih diingatnya, ketika sang angin menghembuskan nafasnya keras, membuat rambutnya yang tersisir rapi terpaksa berkibar, membuat pandangannya terpaksa tertutupi. Perlahan, seseorang yang begitu ia kenal kedatangannnya duduk terjongkok di hadapannya. Mengambil sejumput rambutnya, lalu meletakkannya di belakang telinganya. Sempat tercium olehnya maskulin alami lelaki hitam manis itu, memenuhi rongga dadanya, membuat jantungnya tanpa sadar berdesir tidak teratur, sama seperti kemarin, pukul 4 sore di tempat ini.
...
Rengkuhan kasih tanpa jeda.
Derapku tidak akan berakhir di sini.
Mengalir bersama ribuan angin tak kasat mata.
Oleh senja kala, yang timbul sore ini.
Merendam asa yang sejalan bersamamu.
Membuat dirinya bertanya, apa maksud dari hal itu? Sore itu, sore berawan yang melahirkan suatu hal yang tidak bisa ia ketahui apa maknanya.
-
Puluhan Burung Gereja memenuhi lahan taman panti tersebut, membuatnya seakan menjadi lautan burung tanpa celah. Banyak diantara mereka yang mematuk-matuk pada konblok yang—beberapa bagiannya tertutupi dedaunan kering—baru saja ditebari beras oleh tukang kebun di panti tersebut. Tidak banyak juga kumpulan dari mereka yang mulai berdatangan, berebutan untuk mengambil bulir-bulir beras yang semakin banyak ditebari oleh tukang kebun panti tersebut. Itu memang menjadi rutinitas. Sama seperti lelaki hitam manis yang selalu datang setiap sore itu.
Enjel menatap berbinar pada kumpulan burung itu. Menganggurkan buku mungil dan pensil yang ujungnya tumpul itu, yang sedari tadi terpekur di pangkuannya. Tidak juga mengindahkan suara-suara ribut yang berasal dari teman-teman pantinya. Ia terlalu tenang dengan dunianya. Terlalu tenang, sampai ia sadar jika ini berbeda. Tidak seperti kemarin, ketika langit berawan berlalu.
Dimana?—hati kecilnya berucap. Dimana?—berulang, sampai ia benar-benar sadar, bahwa lelaki hitam manis itu memang tidak di sini. Menemaninya. Memamerkan suara khas dari sebuah benda berwarna hitam yang selalu digantungkan di lehernya. Memperlihatkan senyum yang selalu sama ketika ia telah selesai memamerkan suara khas itu.
Dimana?—hati kecilnya kembali meronta, meminta jawaban dari apa yang telah terjadi. Tolong jawab!—batinnya mulai tersiksa. Bulir-bulir itu mulai mengeluarkan dirinya, mengalir deras lewat raungan amarah yang terjadi. Bersamaan, puluhan Burung Gereja segera meninggalkan kumpulan bulir beras yang masih tersisa. Seperti tidak ingin mencampuri urusan gadis itu.
Tukang kebun yang sedari tadi masih menebarkan bulir-bulir beras segera meletakkan wadah besar berisi kumpulan beras tersebut. Berjalan terburu, mendekatinya. Memegangi salah satu pundaknya, lalu berteriak memanggil siapa pun yang mendengarnya. Meminta bantuan untuk menenangkan gadis yang sedari tadi menunggunya menebarkan beras.
Beberapa ibu asuh yang bekerja di panti tersebut segera berdatangan, mencoba menanyakan pada Enjel, apa yang terjadi dengan dirinya. Namun ia tetap berteriak, memberontak. Melempar buku mungil dan pensil yang ujungnya tumpul itu. Melempar puluhan daun kering yang tergeletak di sekitarnya.
Sore itu, batinnya tertekan. Meminta pada lelaki hitam manis itu untuk datang. Hanya itu.
Dan sore itu pula semua diakhiri dengan tangis dan raungan yang tak kunjung reda.
-
Akhir bulan September tiba, pertanda bahwa sebentar lagi musim penghujan akan datang. Membawa angin dari utara. Sore ini rintik-rintiknya sudah mulai bertebaran, membayangi kaca jendela menjadi buram. Daun-daun kering yang berjatuhan juga sudah menyanyikan lagunya akibat angin utara, membiaskan udara dingin dengan gemerisik dedaunan yang semakin menjadi. Membunyikan sebuah gantungan bambu yang tergantung pada salah satu jendela di panti tersebut.
Sepasang mata jelaga menatap pemandangan tersebut kosong lewat balik kaca. Jari-jarinya yang kurus bergerak mengikuti aliran air yang luruh—yang terpeta pada kaca jendela tersebut. Helaan angin yang dingin merasuk perlahan melalui ventilasi kecil di kamarnya yang terletak di atas jendela. Menusuk kulitnya lembut. Membuat bulu kuduknya meremang, akibatnya.
Lewat gerakan halus, didengarnya ketukan di pintu kamarnya, namun tidak dihiraukannya. Tidak berapa lama, pintu tersebut terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan rambut digulung kecil. Sebuah jepitan bunga menghiasi gulungan rambut tersebut.
Dengan senyum ramah, wanita tersebut menatap pemilik sepasang mata jelaga itu. Mendekatinya pelan, lalu berdiri beberapa kaki di belakangnya.
“ Kamu masih menunggu Legit?” tanya wanita tersebut lembut.
Yang ditanya masih asyik dengan ribuan aliran air yang terpeta di kaca.
“ Tidak harus menanti seperti itu, karena belum tentu ia kembali seperti yang kamu inginkan.”
Pemilik sepasang mata jelaga itu terhenti, tetapi masih menatap kosong pada ribuan bulir air di luar sana.
“ Walau ibu tahu, kamu masih tetap boleh menyayanginya. Lebih dari apa yang kamu tahu tentang rasa sayang itu kepada dia.” Wanita yang menyatakan dirinya dengan ‘Ibu’ itu tersenyum lagi.
“ Yang penting, kamu sudah tidak sedih. Itu sudah membuat ibu senang.”
Diakhiri dengan seulas senyum, wanita itu kembali lagi, menjauh dari pemilik sepasang mata jelaga itu. Kembali berada di balik pintu pemilik kamar tersebut dengan senyum lembutnya. Dengan segala rasa pengertiannya pada gadis yang masih setia menunggu lelaki hitam manis itu. Meski sampai kini, gadis pemilik sepasang mata jelaga itu tetap tidak mengerti, makna apa yang tersirat dari rasa yang dua bulan lalu mendatanginya. Bagai pukulan antar bambu yang tergantung di dekat jendela kamarnya.
-
Kepada: Dia, yang aku temui sore ini.
Goresan alam lewat diam.
Yang aku lihat sore itu.
Bergelumit, lewat mayorisasi nada alam.
Menimbulkan rinai gemerisik Burung Gereja yang memanggil.
Derap kaki ragu yang aku dengar.
Lewat seruan tanah yang menjalar pada telinga.
Sepi menggumam.
Rengkuhan kasih tanpa jeda.
Derapku tidak akan berakhir di sini.
Mengalir bersama ribuan angin tak kasat mata.
Oleh senja kala, yang timbul sore ini.
Merendam asa yang sejalan bersamamu.
-------
Sekian, wasaalam :)
Tertanda,
Lapis Legit orang terlanjur Kece dan Ganteng :O